Jumat, 27 April 2018

Kebudayaan Masayarakat Jombang


Kabupaten Jombang memiliki 21 Kecamatan dengan posisi geografis berada di bagian tengah Propinsi Jawa Timur bersebelahan dengan daerah yang memiliki etnis yang berbeda. Sebelah Timur Kabupaten Mojokerto yang merupakan daerah etnis budaya “arek”, sebelah Utara Kabupaten Lamongan yang mempunyai etnis campuran budaya Jawa Timuran dan pesisir Utara, sebelah Barat Kabupaten Nganjuk dengan budaya Jawa Tengah, sebelah Selatan Kabupaten Kediri juga etnis Jawa Tengah/Panaragan, arah Tenggara Kabupaten Malang merupakan daerah etnis Jawa Timur pesisir Selatan. Oleh karena itu dalam perkembangan peradaban, daerah Jombang tidak luput dari pengaruh wilayah sekitarnya.
Sunarto timur dalam bukunya membagi daerah Jawa Timur berdasarkan wilayah budaya menjadi beberapa wilayah etnis:
1. Etnis Jawa Osing, meliputi eks karsidenan Besuki dan Madura.
2. Etnis Jawa Timuran, meliputi karsidenan Malang, Sidoarjo, Jombang, Mojokerto, Surabaya, Gresik dan Lamongan.
3. Etnis Jawa pesisir Utara, yaitu Tuban, Gresik dan Bojonegoro,
4. Etnis Jawa pesisir Selatan, yaitu Pasuruan dan Malang Selatan.
5. Etnis Jawa Tengah, meliputi eks karsidenan madiun dan eks karsidenan Kediri.
Dilihat dari letak geografis, Jombang termasuk daerah etnis budaya Jawa Timuran yang mempunyai ragam campuran budaya, yaitu etnis Jawa Timuran atau budaya “arek”, etnis Madura, Panaragan, Mataraman dan etnis jawa Tengahan. Hal ini dapat dilihat oleh banyaknya imigran dari luar daerah yang menetap sebagai penduduk Jombang sejak dahulu, sehingga kebudayaan yang meraka bawa membaur dengan kebudayaan setempat. Sampei saat ini kebudayaan masyarakat Jombang memiliki warna khas yang menunjukkan perbedaan dengan masyarakat berkebudayaan atau etnis Jawa Timur aslinya. Ciri khas kebudayaan masyarakat Jombang tercermin dalam adat-istiadat bahasa dialek dan kesenian mereka.
Adat-istiadat orang Jombang begitu nampak dalam kehidupan masyarakat luar kota, karena masyarakat kota merupakan masyarakat yang sangat sulit untuk dipilah-pilahkan karena percampuran lingkungan heterogen dan pribumi sudah berbaur seiring dengan berkembangnya pola kehidupan jamannya. Namun jika kita memandang lingkungan di daerah luar perkotaan, dapat kita ketahui bahwa masyarakat Jombang merupakan manivestasi budaya masyarakat multi kultural.
Seperti budaya masyarakat didaerah Kecamatan Ngoro, Bareng, Mojowarno, Wonosalam, Jogoroto, Mojoagung, Sumobito, Kesamben secara umum memiliki latar belakang bahasc dialek dan adat-istiadat etnis Jawa Timuran asli/budaya “arek” hal ini ditandai dengan logat bicara yang berciri dengan menggunakan ucapan akhiran …se maupun …tah; contoh: ya’apa se, nang endi se, babah se. iya tah. age tah, wis mari tah dan sebagainya. Kemudian tercermin pada penekanan ucapan kata sifat biasa dipanjangkan, misalnya: adoh menjadi u…adoh. gedhe menjadi gu…edhe, apik menjadi u…apik, ireng menjadi u…irengdan sebagainya.
Berbeda dengan daerah Di Kecamatan Tembelang. Plandaan, Ploso, Kabuh, Kudu. Ngusikan tercemin budaya campuran etnis pesisir Utara, etnis Osing dan Jawa Tengahan. Hal ini dapat dibuktikan dengan kebiasaan dan dialek mereka sehari-hari memakai bahasa budaya kulonan (Jawa Tengahan) dan akhiran …ta; seperti: kowe, kuwi, ora, piye ta, endhi ta dan sebagainya. Anehnya di satu wilayah ini tepatnya di Desa Manduro Kecamatan Kabuh, masyarakatnya mempunyai bahasa dan kesenian Madura.
Di daerah tersebut kehidupan sehari-hari mayoritas sebagai petani padi dan patani tembakau, tetapi meraka juga suka berkesenian, seperti: kesenian ludruk, wayang kulit, dangdut, tayub dan campur sari. Dalam adat-istiadat masih menampakkan adat kejawaannya (kejawen); misalnya: walaupun agama yang dianut adalah agama islam tata cara berbicara, sikap dan tingkah laku dalam pergaulan jika bertamu biasa atau lebih akrab menggunakan kata kula nuwun atau nuwun sewu.
Lain halnya dengan di Kecamatan Megaluh, Perak, Diwek, Gudo dan Jombang bagian Barat di mana mereka memiliki etnis atau budaya campuran Jawa Tengah, Mataraman, Panaragan dan sedikit bercampur dengan budaya Jawa Timuran karena daerahnya berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk, Kediri dan sebelah Timur Kecamatan Jombang adalah Kecamatan Jogoroto. Logat bicaranya-pun campuran budaya Jawa Tengahan/Mataraman dan budaya “arek”; contoh: piye se, ora se, gak mulih ta dan sebagainya. Walaupun pola kehidupan sehari-hari mayoritas sama dengan daerah tersebut diatas tetapi masih terdapat perbedaan, contoh: jenis keseniannya lebih dekat dengan budaya Jawa Tengahan, seperti wayang kulit, wayang krucil. Kuda Lumping jenis Sambaya dan kesenian reog Ponorogo.
Hal lain yang menurut tata bahasa Jawa janggal tetapi sudah menjadi kebiasaan mereka menggunakan tingkatan bahasa karma; misalnya: kula badhe siram, kula sampun dhahar, kula mboten pirsa. Sebaliknya tutur sapa kepada orang lain yang dihormati tata bahasanya di balik; misalnya: bapak sampun nedha, ibu tilem, mbah kesah, dan sebagainya. Mereka menyadari hal semacam itu, tetapi masih tetap dilakukannya karena sudah menjadi kebiasaan hingga turun- temurun sampai sekarang. Sehingga kebiasaan seperti itu disebut salah kaprah, artinya suatu yang tidak benar tetapi dianggap biasa. (Suyanto. 2002:7).
Secara universal masyarakat Jombang menunjukan kepribadian dan kehidupan mayoritas sebagai petani padi, sikap dan pola pikir yang terbuka (blak-blakan). Selain potensi alam yang dimiliki, di Kabupaten Jombang banyak terlahir tokoh yang mewarnai  bumi  pertiwi  baik  di  tingkat  lokal,  regional,  nasional  bahkan diperthitungkan di tingkat internasional. Sehingga sampai sekarang masih bermunculan potensi sumber daya manusia di berbagai bidang, salah satunya bidang seni budaya yang mencerminkan budaya campuran, yaitu budaya Jawa Timuran, Jawa Tengahan, Jawa Pesisir Utara, Jawa Pesisir Selatan, Mataraman, Panaragan dan etnis Osing.
Menurut Ki Sareh, bahwa masyarakat Jombang merupakan wadah dan isi kebudayaan. Maksud kata wadah di sini adalah suatu tempat yang dijadikan penampungan dari berbagai etnis yang datang dan membaur satu dengan yang lainnya. Sedangkan isi adalah para tokoh serta pelaku seni budaya yang sadar akan pelestarian dan perkembangan seni budaya daerah. Sehingga keragaman budaya tersebut sebagai latar belakang seni budaya daerah yang majemuk menjadi kepribadian budaya masyarakat Jombang yang disebut “Gaya Jombangan” (Sareh, wawancara 2004). Di sisi yang lain ada pendapat Drs. Nasrul llah sebagai salah satu budayawan Jombang yang perlu digaris bawahi, karena relitanya Kabupaten Jombang mempunyai beberapa macam bentuk kesenian rakyat, seperti: Besutan, Ludruk, Jaran Kepang Dor, Hadrah, Kentrung, Sandur, Wayang Krucil, Wayang Topeng, Wayang Kulit dan sebagainya; di mana semua itu mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jombang yang memiliki ragam berbeda dengan etnis Jawa Timuran yang lainnya (Nasrul llah, wawancara 2005).

‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾‾Dinukil oleh Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit – Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur: Heru Cahyono,  Wayang Jombangan: Penelusuran Awal Wayang Kulit Gaya Jombangan. Jombang, Pemerintah Kabupaten Jombang KANTOR PARBUPORA, 2008. hlm. 1-3

Sabtu, 24 Maret 2018

Pluralisme dan Kesederhanaan Toleransi


Pluralisme, sebuah kata yang berat bagi Indonesia. Begitu banyak perbedaan di Nusantara ini, termasuk suku dan agama. Tapi ada beberapa daerah di Indonesia, dengan kesenyapan dan kesederhanaannya telah memberi warna bagi pluralisme secara nyata. Tak sekadar basa basi.
Mojowarno; cikal protestan di tengah kota santri
Banyak yang mengenal Jombang. Kota ini lebih dikenal dengan kota santri, kantong kaum Nahdatul Ulama (NU) di Jawa Timur. Ada pesantren Tebuireng yang terkenal. Juga Pesantren Deanyar, Tambak Beras dan Pesantren Darul Ulum. Gus Dur, tokoh Islam yang pluralis, juga lahir di Jombang. Begitu juga Nurcholis Madjid dan Emha Ainun Najib.
Kehidupan beragama di Kabupaten Jombang sangat toleran. Agama Hindu dianut sebagian penduduk Jombang, terutama di kawasan tenggara (Wonosalam, Bareng, dan Ngoro). Selain itu, Jombang memiliki tiga kelenteng yakni Hok Liong Kiong di Kecamatan Jombang, Hong San Kiong di Kecamatan Gudo dan Bo Hway Bio di Kecamatan Mojoagung.
Ada satu kecamatan di Jombang yang masyarakatnya dominan beragama Kristen Protestan. Namanya kecamatan Mojowarno. Mojowarno menjadi pusat penyebaran agama Kristen Protestan pada era kolonial Belanda sampai sekarang. Kecamatan ini adalah nama penting bagi sekitar 23 ribu umat Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang tersebar di Jawa Timur. Didirikan pertama kali oleh Kasan Jariyo – seorang Madura yang lantas memiliki nama babtis Paulus Tosari. Paulus Tosari menjadi Kristen setelah bertemu dengan seorang peranakan Jawa-Rusia yang bernama Coolen.
GKJW Mojowarno hanya berjarak 8 kilometer dari pesantren Tebuireng ini adalah salah satu gereja Kristen tertua di
Indonesia, berdiri sekitar 3 Maret 1881. Kecamatan ini memiliki penduduk Kristen terbanyak di Kabupaten Jombang.
Umat Kristen di Mojowarno amat bersahaja. Penyesuaian agama dan budaya setempat amat kental di Mojowarno dan kemudian ditularkan kepada Gereja Jawa pengikutnya. Umumnya jemaat GKJW Mojowarno lebih senang dengan pola hidup sederhana, selaras dengan keseharian mereka. Hal ini terlihat dari busana yang mereka kenakan
tatkala datang ke gereja.
Para wanita mengenakan pakaian kebaya atau rok yang tidak berlebihan. Sedangkan laki-laki memakai songkok, bahkan tak sedikit kaum pria yang mengenakan sarung layaknya warga muslim pedesaan yang hendak salat berjamaah ke masjid. Pemandangan itu tak jarang juga ditemui dalam ibadah-ibadah khusus seperti Natal dan Paskah, kaum pria yang mengenakan pakaian adat Jawa, lazimnya dipakai dalam upacara-upacara besar.
Tata ibadah Gereja Jawa inipun dekat dengan budaya setempat. Jemaat memakai pujian yang dilantunkan dalam bahasa Jawa halus. Kidung pujian ini merupakan warisan budaya yang terus dilestarikan sebagai ciri khas gereja ini. Bahkan khotbah pendeta pun dilayangkan dalam bahasa Jawa halus dengan nada suara yang halus dan tenang.
Itulah sebabnya desa Kristen ini tumbuh dengan keikhlasan umat Islam di sekelilingnya. GKJW Mojowarno kini jadi pusat untuk 150 gereja di seluruh Jawa Timur. Dan pertumbuhan itu tak menimbulkan gesekan sama sekali dengan agama lain.
Mataram; Hindu di tengah umat Muslim
Lain Jombang , lain pula Mataram. Kota Mataram berada di pulau Lombok yang terletak sebelah timur Bali. Lombok juga dikenal sebagai Pulau Sejuta Masjid. Karena memang hampir di setiap desa, di seluruh pulau yang mayoritas suku Sasak ini, masyarakatnya mendirikan dan membangun masjid. Setiap desa seakan-akan berlomba-lomba membuat masjid yang besar, luas dan indah. Seperti ada kewajiban yang harus dipenuhi. Masyarakat di desa-desa tersebut saling bahu-membahu, saling terikat satu sama lain dan bergotong royong mewujudkan cita-cita. Sepertinya masjid adalah soal keberadaan masyarakat pulau Lombok di depan Tuhan.
Namun di tengah keberadaan Islam, di beberapa bagian pulau Lombok terdapat masyarakat Hindu. Ini memberikan warna tersendiri. Bisa dipahami karena Hindu di Indonesia tidak lepas dari pulau Bali yang berjarak tak jauh dari pulau Lombok. Mereka hidup dalam ruangan keyakinan tersendiri. Dan memang sulit memisahkan Hindu di pulau Bali dengan adat budaya Hindu yang melekat di pulau Lombok. Hindu di pulau Lombok justru hidup tenteram dengan masyarat beragama Islam, Nasrani, Budha dan Konghucu.
Mataram adalah contoh pluralisme yang cukup baik untuk Islam dan Hindu, karena mayoritas dihuni oleh umat Islam dan Hindu. Kota Mataram sebagai ibukota Propinsi Nusa Tenggara Barat yang berpenduduk sekitar 500 ribu jiwa adalah contoh bagaimana kota dimiliki warganya tanpa melihat perbedaan keyakinan beragama. Memang pernah kedamaian ini terkoyak pada tahun 1974 dan 2000 yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras). Namun kekacauan itu dengan cepat terselesaikan.
Di Mataram, ketika Hari Raya Nyepi berlangsung, hampir seluruh pelosok kota nyaris tak berkegiatan. Memang tidak sama persis dengan keadaan pulau Bali, tetapi di hampir tempat hunian tidak satupun lampu penerang menyala. Bahkan kegiatan usaha perekonomian pun, mengikuti ritme agama Hindu.
Di saat yang lain, ketika ibadah Ramadhan sedang dijalani, di berbagai tempat tidak nampak penjual makanan yang buka, di siang hari. Umat Hindu memilih membawa bekal dari rumah ketika harus makan siang di kantor saat Ramadhan berlangsung.
Mojowarno dan Mataram mungkin adalah contoh bagi pemahaman sederhana masyarakat beragama tentang pluralisme dan toleransi. Mereka memahami, bahwa pluralisme tidak menghapuskan kepribadian umat. Mereka tetap menjalani ibadah masing-masing; Islam, Kristen dan Hindu. Kesadaran beragama yang cerdas merupakan faktor yang menjamin pluralisme dan kebesaran hati menerima akan menjaga dari penyimpangan dan kesalahan.
Pluralisme selalu punya nilai-nilai kebenaran yang bersifat universal, pengabaian fanatis agama secara berlebihan dan selalu berusaha membuka diri dengan orang lain walau berbeda agama dan keyakinan. Bila sikap seperti ini dimiliki oleh setiap umat beragama, maka pluralisme agama dapat berkembang dengan baik, yang pada akhirnya akan tercipta kerukunan dan toleransi umat beragama yang harmonis ditengah-tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara